2.1
Struktur Karya
Sastra
Struktur adalah susunan yang memperlihatkan tata hubungan antara unsur
pembentuk karya sastra atau rangkaian unsur yang tersusun secara terpadu
(Zaidan, 2007: 194Selanjutnya Teeuw
(1984:154) menjelaskan bahwa:
Struktur adalah suatu tahapan dalam penelitian
yang sulit dihindari. Sebab teori struktur bertujuan untuk membongkar dan
memaparkan secara cermat, seteliti, semendetail, semendalam mungkin yang
berkaitan semua ansir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan
karya yang menyeluruh.
Dari pengertian di atas maka
struktur forma Gaguritan Runtuhnya Sri Dalem Dukut adalah rangkaian unsur yang terpadu dari struktur
karya sastra untuk memaparkan secara cermat aspek karya sastra dalam bentuk
puisi berupa tembang yang terikat oleh pada
lingsa. Struktur dalam Gaguritan
Runtuhnya Sri Dalem Dukut terdiri dari struktur forma dan
struktur naratif.
2.1.1
Struktur
Forma Karya Sastra
Struktur forma yang dimaksud adalah kode sastra. “Kode merupakan variasi
sebuah bahasa atau suatu bahasa dan berbagai bahasa yang ada pada kosa kata
bahasa sebuah masyarakat non monolingual yang sering digunakan untuk
menyampaikan arti-arti tertentu, untuk menyampaikan penuturan dalam masyarakat
pembacanya” (Soepomo, 1975 : 1). Menurut Damono (dalam Purnami, 2008 : 14),
mengatakan kode sastra adalah kata- kata dalam karya sastra tidak sekedar
berperan sebagai alat menghubungkan pembaca dengan instuisi penyair, teiapi
juga sebagai objek pendukung imajinasi.
Jadi dapat dijelaskan bahwa kode sastra adalah kata- kata dalam karya
sastra tidak sekedar berperan sebagai alat menghubungkan pembaca dengan
instuisi penyair, teiapi juga sebagai objek pendukung imajinasi yang sering
digunakan untuk menyampaikan arti-arti tertentu, untuk menyampaikan penuturan
dalam masyarakat pembacanya.
Kode sastra dalam Gaguritan disebut dengan tembang. Secara umum tembang dapat diartikan sebagai lantunan lagu. Isi
sebuah karya sastra Gaguritan dalam
penyampaiannya umumnya diucapkan dengan dinyanyikan atau ditembangkan. Budiyasa
(1997 : 1) menyebutkan bahwa : ”Tembang merupakan bagian seni yang dituangkan
dalam alunan suara, irama, dan ritme”. Menurut Hardaniwati (2003 : 691)
menyatakan tembang bahwa : “tembang adalah syair-syair yang berirama atau lagu
untuk dinyanyikan”.
Jadi dapat dijelaskan bahwa tembang adalah
penyampaian isi dari sebuah karya sastra dalam bentuk alunan suara, syair-syair
yang berirama atau lagu untuk dinyanyikan.
Secara umum tembang dapat diartikan sebagai
lantunan lagu. Isi sebuah karya sastra gaguritan
dalam penyampaiannya umumnya diucapkan dengan dinyanyikan atau ditembangkan.
Menurut Hardaniwati (2003 : 691) menyatakan bahwa : “tembang adalah syair-syair
yang berirama atau lagu untuk dinyanyikan”. Budiyasa (1997 : 1) menerangkan
bahwa : ”Tembang merupakan bagian seni yang dituangkan dalam alunan suara,
irama, dan ritme”.
Jadi dapat dijelaskan bahwa tembang adalah
penyampaian isi dari sebuah karya sastra dalam bentuk alunan suara, syair-syair
yang berirama atau lagu untuk dinyanyikan. Sebagai sebuah karya sastra gaguritan terikat dengan pupuh, persajakan dan ketentuan larik
(baris). Ketentuan tersebut dalam sastra Bali
yang berbentuk tembang dikenal dengan
pada lingsa.
Gaguritan memiliki bentuk puisi
yang khas, ini dikemukakan oleh Granoka (1982 : 12) bahwa : “Gaguritan dikemas dalam pada lingsa pupuh, yaitu banyaknya baris
dalam tiap-tiap bait”. Dinas Pendidikan Pusat Dati I Bali (1991 : 254)
menyatakan bahwa : ”gaguritan juga disebut dengan
pupuh. Dalam satu bait diikat oleh bunyi akhir masing-masing baris atau
disebut padalingsa”. Dalam melagukan
suatu gaguritan tersebut maka akan
menghasilkan irama yang indah yang dapat menghibur dan menyenangkan hati serta
sekaligus mendapatkan petuah serta nilai-nilai budaya yang luhur.
Jadi dapat dijelaskan pada lingsa
adalah banyaknya baris dalam tiap-tiap bait. Tinggen (1982 : 30) menyatakan
padalingsa dalam Gaguritan terdiri
dari : (1) Guru Wilang, yaitu
banyaknya suku kata pada tiap-tiap baris dalam satu bait, (2) Guru Gatra adalah banyaknya baris pada
tiap-tiap bait, dan (3) Guru Suara / ding dong adalah suara pada suku kata
terakhir dalam tiap baris. Berdasarkan ketentuan pada lingsa yang ada dalam gaguritan
meliputi :
1.
Pupuh Pucung terdiri
dari 6 (enam) larik dalam satu bait yaitu dengan rumusan 4u, 8u, 6a, 8i, 4u,
8a.
2.
Pupuh Mas
Kumambang terdiri dari 5 (lima)
larik dalam satu bait yaitu dengan rumusan 4a, 8i, 6a, 8i, 8a.
3.
Pupuh Sinom terdiri
dari 10 (sepuluh) larik dalam satu bait yaitu dengan rumusan 8a, 8i, 8a, 8i,
8i, 8u, 8a, 8i, 4u, 8a.
4.
Pupuh Ginada terdiri
dari 7 (tujuh) larik dalam satu bait yaitu dengan rumusan 8a, 8i, 8a, 8u, 8a,
4i, 8a.
5.
Pupuh Ginanti terdiri
dari 6 (enam) larik dalam satu bait yaitu dengan rumusan 8u, 8i, 8a, 8i, 8a,
8i.
6.
Pupuh Semaran
Dana terdiri dari 7 (tujuh) larik dalam satu bait yaitu dengan rumusan 8i,
8a, 8e, 8a, 8a, 8u, 8a.
7.
Pupuh Pangkur terdiri
dari 7 (tujuh) larik dalam satu bait yaitu dengan rumusan 8a, 12i, 8u, 8a, 12u,
8a, 8i.
8.
Pupuh Durma terdiri
dari 7 (tujuh) larik dalam satu bait yaitu dengan rumusan 12a, 8i, 6a, 7a, 8i,
4a, 8i.
9.
Pupuh Dandang
Gula terdiri dari 12 (dua belas) larik dalam satu bait yaitu dengan rumusan
10i, 4a, 8a, 8e, 8u, 8i, 8a, 8u, 8a, 4a, 8i, 8a.
10.
Pupuh Pangkur terdiri
dari 6 (enam) larik dalam satu bait yaitu dengan rumusan 10i, 6o, 10a, 10i, 6i,
8u.
2.1.2
Struktur
Naratif Karya Sastra
Mengenai pengertian struktur naratif Wisnu (2001 : 33) menyatakan bahwa :
”struktur naratif adalah salah satu bagian dari keseluruhan struktur karya
sastra yang mengulas tentang bentuk dalam menampilkan suatu karya sastra”.
Kemudian Sukada (1987 : 15) menyatakan struktur naratif pada dasarnya adalah
unsure-unsur yang secara keseluruhan membentuk karya sastra, diantaranya
sinopsis, karakter, dan amanat. Kemudian Paryatna (2006 : 15) menyatakan bahwa
: ”struktur naratif merupakan suatu bagian dari keseluruhan karya sastra, mengulas
tentang bentuk atau kemasan dalam menampilkan karya sastra itu dan memiliki
hubungan yang signifikan dengan isi yang dikandungnya”. Struktur naratif yang
dimaksud adalah synopsis, bahasa, tema, tokoh, alur, latar.
Dari pengertian struktur naratif di atas maka dapat dijelaskan struktur
naratif adalah suatu bagian dari keseluruhan karya sastra, mengulas tentang
bentuk atau kemasan dalam menampilkan karya sastra itu dan memiliki hubungan
yang signifikan dengan isi yang dikandungnya. Berkaitan denga itu struktur
naratif Gaguritan Runtuhnya Sri Dalem Dukut adalah salah satu bagian dari struktur karya sastra yang berbentuk
puisi yang berupa tembang yang terikat oleh pada
lingsa. Struktur naratif terdiri atas : sinopsis, tema, bahasa, tokoh,
latar, alur dan amanat. Dijelaskan sebagai berikut.
2.1.2.1 Sinopsis
Menurut
Hardaniwati (2003 : 634) : ”sinopsis adalah ikhtisar karangan, bisaanya
diterbitkan bersama karangan aslinya”. Dengan adanya sinopsis pembaca dapat
mengetahui ringkasan sebuah cerita atau karangan tanpa harus membaca ceruta
atau karangan tersebut secara langsung. Sinopsis menurut kamus Bahasa Indonesia
oleh Tim Prima Pena (tt : 598) yaitu “kata benda abstarksi, ringkasan sebuah
tulisan atau karangan yang diterbitkan bersama-sama dengan keterangan asli, ringkasan
cerita yang ditampilkan di depan cerita yang utuh”. Dalam penyajian sinopsis
dalam karya sastra merupakan suatu ringkasan yang disajikan secara umum sebagai
gambaran awal dalam proses penulisan. Sinopsis juga disebut sebagai bahan acuan
awal dalam menjelaskan keterkaitan cerita dari awal sampai akhir. Gambaran
secara umum yang mencakup permasalahan yang jelas maka pembaca dapat memahami
apa yang disajikan dalam penulisan selanjutnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa
sinopsis yaitu ringkasan cerita, yang menggambarkan secara umum cerita yang
sebenarnya
2.1.2.2 Tema
Setiap
karya sastra baik dalam bentuk puisi, drama, novel dan jenis karya sastra
lainnya memiliki satu hal terpenting yaitu tema. Suharianto (1982 : 28)
menyatakan bahwa : ”tema adalah ide pokok atau ide utama yang merupakan dasar
cerita, persoalan atau permasalahan yang mendominasi suatu karya sastra
sekaligus merupakan permasalahan yang dirumuskan dan dirangkai pengarang di
dalam karya sastranya”. Pendapat senada dikemukakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001 : 104) dikemukakan bahwa : yang
dimaksud dengan tema adalah : ”pokok pikiran ; dasar cerita(yang dipercakapkan
dipakai sebagai dasar mengarang, mengubah sajak, dsb.)”. Setiap karya sastra
baik dalam bentuk puisi, drama, novel dan jenis karya sastra lainnya memiliki
satu hal terpenting yaitu tema.. Kemudian Harison (dalam Esten, 1984 : 22)
menyatakan bahwa : ”tema yang baik adalah sebuah tema yang merupakan suatu
persoalan manusia yang luas, mendalam dan betul-betul bisa dirasakan dan diterima
sebagai persoalan kemanusiaan”.
Jadi dapat
dijelaskan bahwa tema adalah ide pokok atau ide utama yang merupakan dasar
cerita, pandangan hidup pengarang, persoalan atau permasalahan yang mendominasi
suatu karya sastra sekaligus merupakan rangkaian nilai-nilai yang membangun
dasar atau ide utama suatu karya sastra yang dirumuskan dan dirangkai pengarang
di dalam karya sastranya.
2.1.2.3 Bahasa
Bahasa
adalah identitas suatu bangsa, Negara dan kepulauan. Bahasa adalah sarana
manusia untuk menyampaikan maksud dan tujuannya baik dalam bentuk ucapan,
tulisan, bahasa tubuh atau isyarat.
Adapun jenis bahasa adalah khususnya di Indonesia yaitu bahasa nasional dan
bahasa daerah. Hardaniwati (2003 : 39) menyatakan bahwa : ”bahasa adalah alat
berhubungan manusia yang dihasilkan alat ucap manusia dan setiap karya sastra
yang isi ceritanya merupakan maksud yang disampaikan pengarang melalui cerita
dengan bahasa tulisan”. Menurut Idrus (tt : 60) bahasa adalah “system lambang
bunyi yang arbiter, yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk
bekerjasama, berinteraksi dan mengidentifikasikan diri, percakapan (perkataan)
yang baik, tingkah laku yang baik, dan sopan santun”
Berdasarkan
penjelasan-penjelasan di atas dapat dijelaskan bahasa adalah suatu lambang yang
sangat penting digunakan, baik untuk berkomunikasi, juga sebagai alat
menghubungkan pembaca dengan instuisi penyair dalam karya sastra. Demikian pula
bahasa yang digunakan dalam Gaguritan
Runtuhnya Sri Dalem Dukut merniliki
peranan yang cukup penting seorang pengarang akan memanfaatkan bahasa untuk
menciptakan nada dan suasana yang tepat guna, sesuai maksud dan tujuannya
dengan bahasa tulisan.
1.
Ragam Bahasa
Ragam
bahasa merupakan penggunaan bahasa dalam teks. Dalam sastra Bali
terdapat banyak ragam bahasa. Menurut Antara (1994:5) menyatakan Bahasa Bali
berasal dan kosakata Bali Aga, Bahasa Bali Tengahan, Bahasa Bali Baru, Bahasa
Jawa Kuno, Bahasa Sansekerta. Lebih lanjut diuraikan bahwa sastra Bali yang menggunakan Bahasa Bali dibagi menjadi enam
yaitu:
a)
Sastra Bali yang menggunakan Basa Bali Aga.
b)
Sastra Bali yang menggunakan Basa Bali Kuna. Sastra
Bali yang menggunakan Basa Bali Tengahan.
c)
Sastra Bali yang menggunakan Basa Bali Anyar.
d)
Sastra Bali yang menggunakan Basa Jawa Kuna.
e)
Sastra Bali yang menggimakan Basa Sansekerta.
Antara
(1994:9) dalam buku bahan ajar berjudul Sari Tata Basa Bali menguraikan bahwa
Bahasa Bali memiliki dua dialek yakni dialek
Bali Aga dan dialek Bali Kepara.
Bahasa Bali
memiliki stratifikasi bahasa yang dikenal dengan istilah Sor Singgih Basa atau
Anggah Ungguhing Basa. Tingkatan Bahasa Bali mi menurut Budha Gautama dan I
Nengah Tinggen (dalam Antara 1994 :16), dibagi menjadi tiga yaitu:
a)
Basa Alus terdiri dan Basa Alus Singgih, Basa Alus
Mider, Basa Alus Sor.
b)
Basa Madia,
c)
Basa Kasar.
Sedangkan
menurut Suwija (2006:1 1-15) menyatakan bahwa berdasarkan rasa bahasanya,
Bahasa Bali dibagi menjadi empat yaitu, (1) Basa Kasar, (2) Basa Andap, (3)
Basa Madia, (4) Basa Alas. Basa Kasar dibagi lagi menjadi Basa Kasar Pisan dan
Kasar Jabag. Basa Alus pembagiannya sama seperti yang diuraikan oleh Antara.
Suwija lebih lanjut menguraikan yang dimaksud dengan jenis Bahasa di atas
adalah sebagai berikut:
1)
Basa Kasar Pisan adalah Bahasa Bali yang rasa bahasanya
benar-benar tidak enak di dengar dan sering dipakai saat bertengkar atau
mengumpat.
2)
Basa Kasar Jabag adalah Bahasa Bali
yang dibangun oleh kata-kata Basa Andap dan ditambah kata-kata dan Alas Madia,
tetapi dipakai berbicara dengan orang yang pantas dihormati.
3)
Basa Andap adalah Bahasa Bali yang rasa bahasanya bisaa,
tidak kasarjuga tidak halus.
4)
Basa Madia adalah Bahasa Bali yang kedengarannya halus,
namun rasa bahasanya Madia, sebab banyak dibangun oleh kata-kata yang masuk
Basa Alus Madia.
5)
Basa Alas Singgih adalah Bahasa Bali yang rasa
bahasanya dipakai untuk orang yang patut dihormati.
6)
Basa Alas Sor adalah Bahasa Bali
yang rasa bahasanya halus, dipakai untuk merendahkan din atau yang pantas
diposisikan dalam bahasa yang lebih rendah.
7)
Basa Alus Mider adalah Bahasa Bali yang rasa bahasanya
halus, sering dipakai berbicara dalam rapat, berbicara dengan orang banyak.
Menurut
Tinggen (1982:12) menyatakan bahwa dalarn hubunganriya dengan karya sastra
geguritan, pada umumnya memakai Bahasa Bali Kepara, namun masih ada yang mengunakan Bahasa Bali
Kuno, Bahasa Jawa Kuno (Kawi), Bahasa Tengahan, Bahasa Sansekerta.
Jadi ragam
bahasa yang digunakan dalam karya sastra geguritan memakai Basa Bali Kepara,
Basa Bali Kuna. Basa Bali Tengahan, Basa Jawa Kuna, dan Basa Sansekerta.
2.
Gaya Bahasa
Gaya bahasa menurut Agni,
B (2008:11) adalah sesuatu yang dipakai dalam karangan baik secara lisan maupun
tulisan yang mewakili pikiran dan perasaan pengarang. Agni (2008:106-118)
menyatakan ada empat jenis Majas dalam Bahasa Indonesia yaitu, (1) Majas
Perbandingan, (2) Majas Sindiran,(3) Majas Penegasan, (4) Majas Pertentangan.
Majas Perbandingan seperti, Alegori, Alusio, Simile, Metafora, Antropomorfisme,
Sinestesia, Antonomasia, Aptronim, Metonimia, Hipokorisme, Litotes, Hiperbola,
Personfikasi, Deperson/Ikasi, Pars Pro Toto, Totem Pro Parte, Eufemisme,
Disfemisme, Fable, Parable, Perfrase, Eponim, Simbolik. Majas Sindiran, seperti
Ironi, Sarkasme, Sinisme, Satire, Innuendo. Majas Penegasan seperti Apofasis,
Pleoname, Repetisi Pararima, Aliterasi, Paralelisme, Tautologi, Sigmatisme,
Antanakiasis, Klimaks, Anti Klimaks, Inverse, Retoris, Elipsis, Koreksio,
Polisindenton, Asindenton, Interupsi, Eksklamasio, Enumerasio, Preterito,
Alonim, Kolokasi, Silepsis, Zeugma. Majas Pertentangan seperti Paradok,
Oksimoron, Antithesis, Konfradiksi Interminus, Anakronisme
Menurut
Esten (1984:28) menyatakan bahwa: “Gaya
bahasa adalah cara pengarang dalam mengungkapkan suatu pengertian dalam kata
(frase), kelompok kata, dan kalimat”.
Pengertian gaya bahasa menurut Sudjito (dalam Lingga Siwi, 2010:120)
menyatakan bahwa: gaya
bahasa atau majas merupakan bahasa figuratif dalam bentuk bahasa kias yang
menghidupkan atau meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu.
Jadi gaya bahasa adalah cara
pengarang dalam mengungkapkan suatu pengertian dalam kata (frase), kelompok
kata, dan kalimat dalam bentuk bahasa kias yang menghidupkan atau meningkatkan
efek dan menimbulkan konotasi tertentu. Gaya
bahasa dalam Bahasa Bali dikenal dengan istilah Paribasa. Menurut Simpen (2001:01)
menyatakan bahwa Paribasa artinya bicara atau kata-kata, ajaran, teguran,
celaan, hardikan, cambukan dan hukuman. Lebih lanjut diuraikan yang termasuk
kedalam Paribasa adalah Sesonggan (Pepatah), Sesenggakan ( Ibarat), Wewangsalan
(Tamsil), Sloka (Bidal), Bebladbadan (Methapora), Peparikan (Pantun), Sesawangan
(Perumpamaan), Cecimpedan (Teka-teki), Cecangkriman (Syair teka-teki), Cecangkitan
(Olok-olokan), Raos Ngempelin (Lawak), Sesimbing (Sindiran), Sesemon (Sindiran
halus), Sipta (Alamat), Sesapaan (Doa). Menurut Tinggen (1995:1-3) menyatakan
bahwa jika ditinjau dan sudut bahasanya, struktur paribasa mengacu pada lapisan
masyarakat penutumya, dimana penggunaan bahasanya mengacu pada Sor Singgih Basa
Bali. Jika dilihat dan bentuknya, paribasa mempunyai bentuk bebas dan bentuk
terikat. Lebih lanjut diuraikannya yang tergolong bentuk bebas Sesonggan,
Sesenggakan, dan Sesawangan, ditandai dengan adanya kalimat panjang dan kalimat
pendek. Sedangkan yang termasuk bentuk terikat adalah Sloka, Bladbadan, dan
Wewangsalan yang diwarnai oleh unsur persamaan bunyi dan sampiran. Tinggen
memperjelas bahwa semua bentuk itu merupakan Metafora yang memairikan peranan
penting dalam bahasa kias.
Dan
beberapa deskripsi tentang gaya bahasa di atas
dapat dijelaskan bahwa gaya
bahasa adalah cara pengarang dalam mengungkapkan pikiran dan perasaannya
melalui bahasa yang khas baik dalam bentuk kata maupun kalimat, dengan tujuan
untuk memperindah bahasa atau membuat bahasa yang menarik, serta mampu
menuansakan makna yang menyentuh daya intelektual dan emosi dan pembacanya.
2.1.2.4 Penokohan
Menurut
Sudjiman (1986 : 16) menyatakan bahwa : ”tokoh adalah individu-individu rekaan
yang mengalami peristiwa atau perlakuan dalam cerita sedangkan watak digunakan
dalam arti tabiat, sifat dan kepribadian”. Dengan demikian, perwatakan bisa
dikatakan merupakan jiwa yang menghidupi tokoh. Idrus (tt : 643), Tim Prima
Pena (tt : 652) mengatakan bahwa tokoh adalah wujud atau keberadaan, bentuk dan
potongan, orang yang terkemuka dan kenamaan, pemegang peran utama dalam cerita.
Jadi dapat
dijelaskan bahwa tokoh adalah individu-individu rekaan yang mengalami peristiwa
atau perlakuan serta memegang peranan dalam cerita yang memiliki watak
tertentu. Bisaanya dalam cerita, penokohan terdiri dari peran utama, peran
sampingan atau peran pembantu.
Esten (dalam
Sukada, 1987 : 27) menyatakan bahwa : ”bisaanya dalam sebuah cerita rekaan
terdapat pelaku utama (central figure)
dan tokoh-tokoh lain yang ditonjolkan dalam hubungannya dengan pelaku utama ini bisaanya disebut pelaku
tambahan”. Lebih lanjut Sudjiman (1986 : 19) menyatakan tokoh dalam sebuah
cerita dibagi menjadi dua yaitu tokoh sentral atau tokoh utama dan tokoh
pembantu. Penentuan tokoh bukan didasarkan atas frekwensi kemunculannya
melainkan intensitas keterlibatan dalam peristiwa yang membangun sebuah cerita.
Jadi dapat
dijelaskan bahwa tokoh dalam sebuah karya sastra terdiri dari dua kelompok
yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan atau tokoh pembantu.
2.1.2.5 Alur / Plot
Menurut
Semi (1988 : 43) menyatakan bahwa :
alur merupakan unsur penting
dalam karya sastra, alur atau plot juga merupakan struktur rangkaian dalam
cerita yang disusun sebagai sebuah interfrensi fungsional sekaligus sebagai urutan dalam bagian-bagian cerita
serta merupakan perpaduan unsur-unsur
yang membangun cerita atau sebagai kerangka utama cerita.
Selanjutnya Brooks (dalam Tarigan, 1985 : 126)
menyatakan alur merupakan : ”struktur gerak yang terdapat dalam fiksi atau
drama yang diawali dengan permulaan (beginning),
inti (tengah) dan akhir (ending)
dalam dunia sastra”. Sedangkan Retnoningsih (1985 : 12) mengatakan bahwa alur
adalah ”suatu rentetan kejadian antara satu dengan yang lainnya, sehingga
menimbulkan terjadinya sebab dan akibat”.
Berdasarkan pengertian alur tersebut di atas
dapat dijelaskan bahwa alur merupakan struktur rangkaian atau rentetan kejadian
dalam karya sastra yang disusun sebagai sebagai urutan dalam bagian-bagian
cerita yang menunjukkan hubungan sebab akibat serta merupakan perpaduan
unsur-unsur yang membangun cerita atau sebagai kerangka utama cerita.
2.1.2.6 Latar
Dalam Kamus-kamus Bahasa Indonesia karya Idrus
(tt : 404) disebutkan bahwa latar adalah keterangan mengenai ruang dan waktu
suasananya saat berlangsungnya peristiwa (dalam karya sastra). Nurgiantoro
(2000 : 227) mengemukakan bahwa : ”unsur latar dapat dibedakan ke dalam unsur
pokok, yaitu tempat, waktu, dan social”. Selanjutnya Suharianto (1982)
menyatakan bahwa : ”latar adalah bagian-bagian yang membicarakan tempat dan
waktu terjadinya peristiwa.
Maka dapat dijelaskan bahwa latar adalah
keterangan mengenai ruang, tempat dan waktu terjadinya peristiwa dalam sebuah
karya sastra.
2.1.2.7 Amanat
Tema adalah pokok persoalan yang
berisi gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra. Di
dalamnya terbayang pandangan hidup atau cita-cita pengarang. Dari persoalan
inilah pengarang menjadikannya sebuah karya sastra yang kadang-kadang atau
sering juga disertai pemecahannya sekaligus. Pemecahan inilah yang diistilahkan
amanat (Sudjiman, 1986 :50).
Dalam Kamus-kamus Bahasa Indonesia karya Idrus (tt : 3)
disebutkan bahwa amanat adalah pesan yang disampaikan. Dalam hal ini, pesan
yang dimaksud adalah pesan yang disampaikan oleh penulis kepada pembaca.
Dapat dijelaskan bahwa amanat adalah pesan yang disampaikan
penulis kepada pembaca melalui pemecahan suatu persoalan dalam sebuah karya
sastra.
No comments:
Post a Comment