Thursday 30 July 2015

Struktur Karya Sastra (Gaguritan)



2.1        Struktur Karya Sastra
Struktur adalah susunan yang memperlihatkan tata hubungan antara unsur pembentuk karya sastra atau rangkaian unsur yang tersusun secara terpadu (Zaidan, 2007: 194Selanjutnya Teeuw (1984:154) menjelaskan bahwa:
Struktur adalah suatu tahapan dalam penelitian yang sulit dihindari. Sebab teori struktur bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secara cermat, seteliti, semendetail, semendalam mungkin yang berkaitan semua ansir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan karya yang menyeluruh.

Dari pengertian di atas maka struktur forma Gaguritan Runtuhnya  Sri Dalem Dukut adalah rangkaian unsur yang terpadu dari struktur karya sastra untuk memaparkan secara cermat aspek karya sastra dalam bentuk puisi berupa tembang yang terikat oleh pada lingsa. Struktur dalam Gaguritan Runtuhnya  Sri Dalem Dukut terdiri dari struktur forma dan struktur naratif.

2.1.1        Struktur Forma Karya Sastra
Struktur forma yang dimaksud adalah kode sastra. “Kode merupakan variasi sebuah bahasa atau suatu bahasa dan berbagai bahasa yang ada pada kosa kata bahasa sebuah masyarakat non monolingual yang sering digunakan untuk menyampaikan arti-arti tertentu, untuk menyampaikan penuturan dalam masyarakat pembacanya” (Soepomo, 1975 : 1). Menurut Damono (dalam Purnami, 2008 : 14), mengatakan kode sastra adalah kata- kata dalam karya sastra tidak sekedar berperan sebagai alat menghubungkan pembaca dengan instuisi penyair, teiapi juga sebagai objek pendukung imajinasi.
Jadi dapat dijelaskan bahwa kode sastra adalah kata- kata dalam karya sastra tidak sekedar berperan sebagai alat menghubungkan pembaca dengan instuisi penyair, teiapi juga sebagai objek pendukung imajinasi yang sering digunakan untuk menyampaikan arti-arti tertentu, untuk menyampaikan penuturan dalam masyarakat pembacanya.
Kode sastra dalam Gaguritan disebut dengan tembang. Secara umum tembang dapat diartikan sebagai lantunan lagu. Isi sebuah karya sastra Gaguritan dalam penyampaiannya umumnya diucapkan dengan dinyanyikan atau ditembangkan. Budiyasa (1997 : 1) menyebutkan bahwa : ”Tembang merupakan bagian seni yang dituangkan dalam alunan suara, irama, dan ritme”. Menurut Hardaniwati (2003 : 691) menyatakan tembang bahwa : “tembang adalah syair-syair yang berirama atau lagu untuk dinyanyikan”.
Jadi dapat dijelaskan bahwa tembang adalah penyampaian isi dari sebuah karya sastra dalam bentuk alunan suara, syair-syair yang berirama atau lagu untuk dinyanyikan.
Secara umum tembang dapat diartikan sebagai lantunan lagu. Isi sebuah karya sastra gaguritan dalam penyampaiannya umumnya diucapkan dengan dinyanyikan atau ditembangkan. Menurut Hardaniwati (2003 : 691) menyatakan bahwa : “tembang adalah syair-syair yang berirama atau lagu untuk dinyanyikan”. Budiyasa (1997 : 1) menerangkan bahwa : ”Tembang merupakan bagian seni yang dituangkan dalam alunan suara, irama, dan ritme”.
Jadi dapat dijelaskan bahwa tembang adalah penyampaian isi dari sebuah karya sastra dalam bentuk alunan suara, syair-syair yang berirama atau lagu untuk dinyanyikan. Sebagai sebuah karya sastra gaguritan terikat dengan pupuh, persajakan dan ketentuan larik (baris). Ketentuan tersebut dalam sastra Bali yang berbentuk tembang dikenal dengan pada lingsa.
Gaguritan memiliki bentuk puisi yang khas, ini dikemukakan oleh Granoka (1982 : 12) bahwa : “Gaguritan dikemas dalam pada lingsa pupuh, yaitu banyaknya baris dalam tiap-tiap bait”. Dinas Pendidikan Pusat Dati I Bali (1991 : 254) menyatakan bahwa :  gaguritan juga disebut dengan pupuh. Dalam satu bait diikat oleh bunyi akhir masing-masing baris atau disebut padalingsa”. Dalam melagukan suatu gaguritan tersebut maka akan menghasilkan irama yang indah yang dapat menghibur dan menyenangkan hati serta sekaligus mendapatkan petuah serta nilai-nilai budaya yang luhur.
Jadi dapat dijelaskan pada lingsa adalah banyaknya baris dalam tiap-tiap bait. Tinggen (1982 : 30) menyatakan padalingsa dalam Gaguritan terdiri dari : (1) Guru Wilang, yaitu banyaknya suku kata pada tiap-tiap baris dalam satu bait, (2) Guru Gatra adalah banyaknya baris pada tiap-tiap bait, dan (3) Guru Suara / ding dong adalah suara pada suku kata terakhir dalam tiap baris. Berdasarkan ketentuan pada lingsa yang ada dalam gaguritan meliputi :
1.            Pupuh Pucung terdiri dari 6 (enam) larik dalam satu bait yaitu dengan rumusan 4u, 8u, 6a, 8i, 4u, 8a.
2.            Pupuh Mas Kumambang terdiri dari 5 (lima) larik dalam satu bait yaitu dengan rumusan 4a, 8i, 6a, 8i, 8a.
3.            Pupuh Sinom terdiri dari 10 (sepuluh) larik dalam satu bait yaitu dengan rumusan 8a, 8i, 8a, 8i, 8i, 8u, 8a, 8i, 4u, 8a.
4.            Pupuh Ginada terdiri dari 7 (tujuh) larik dalam satu bait yaitu dengan rumusan 8a, 8i, 8a, 8u, 8a, 4i, 8a.
5.            Pupuh Ginanti terdiri dari 6 (enam) larik dalam satu bait yaitu dengan rumusan 8u, 8i, 8a, 8i, 8a, 8i.
6.            Pupuh Semaran Dana terdiri dari 7 (tujuh) larik dalam satu bait yaitu dengan rumusan 8i, 8a, 8e, 8a, 8a, 8u, 8a.
7.            Pupuh Pangkur terdiri dari 7 (tujuh) larik dalam satu bait yaitu dengan rumusan 8a, 12i, 8u, 8a, 12u, 8a, 8i.
8.            Pupuh Durma terdiri dari 7 (tujuh) larik dalam satu bait yaitu dengan rumusan 12a, 8i, 6a, 7a, 8i, 4a, 8i.
9.            Pupuh Dandang Gula terdiri dari 12 (dua belas) larik dalam satu bait yaitu dengan rumusan 10i, 4a, 8a, 8e, 8u, 8i, 8a, 8u, 8a, 4a, 8i, 8a.
10.        Pupuh Pangkur terdiri dari 6 (enam) larik dalam satu bait yaitu dengan rumusan 10i, 6o, 10a, 10i, 6i, 8u.

2.1.2        Struktur Naratif Karya Sastra
Mengenai pengertian struktur naratif Wisnu (2001 : 33) menyatakan bahwa : ”struktur naratif adalah salah satu bagian dari keseluruhan struktur karya sastra yang mengulas tentang bentuk dalam menampilkan suatu karya sastra”. Kemudian Sukada (1987 : 15) menyatakan struktur naratif pada dasarnya adalah unsure-unsur yang secara keseluruhan membentuk karya sastra, diantaranya sinopsis, karakter, dan amanat. Kemudian Paryatna (2006 : 15) menyatakan bahwa : ”struktur naratif merupakan suatu bagian dari keseluruhan karya sastra, mengulas tentang bentuk atau kemasan dalam menampilkan karya sastra itu dan memiliki hubungan yang signifikan dengan isi yang dikandungnya”. Struktur naratif yang dimaksud adalah synopsis, bahasa, tema, tokoh, alur, latar.
Dari pengertian struktur naratif di atas maka dapat dijelaskan struktur naratif adalah suatu bagian dari keseluruhan karya sastra, mengulas tentang bentuk atau kemasan dalam menampilkan karya sastra itu dan memiliki hubungan yang signifikan dengan isi yang dikandungnya. Berkaitan denga itu struktur naratif Gaguritan Runtuhnya  Sri Dalem Dukut adalah salah satu bagian dari struktur karya sastra yang berbentuk puisi yang berupa tembang yang terikat oleh pada lingsa. Struktur naratif terdiri atas : sinopsis, tema, bahasa, tokoh, latar, alur dan amanat. Dijelaskan sebagai berikut.

2.1.2.1  Sinopsis
Menurut Hardaniwati (2003 : 634) : ”sinopsis adalah ikhtisar karangan, bisaanya diterbitkan bersama karangan aslinya”. Dengan adanya sinopsis pembaca dapat mengetahui ringkasan sebuah cerita atau karangan tanpa harus membaca ceruta atau karangan tersebut secara langsung. Sinopsis menurut kamus Bahasa Indonesia oleh Tim Prima Pena (tt : 598) yaitu “kata benda abstarksi, ringkasan sebuah tulisan atau karangan yang diterbitkan bersama-sama dengan keterangan asli, ringkasan cerita yang ditampilkan di depan cerita yang utuh”. Dalam penyajian sinopsis dalam karya sastra merupakan suatu ringkasan yang disajikan secara umum sebagai gambaran awal dalam proses penulisan. Sinopsis juga disebut sebagai bahan acuan awal dalam menjelaskan keterkaitan cerita dari awal sampai akhir. Gambaran secara umum yang mencakup permasalahan yang jelas maka pembaca dapat memahami apa yang disajikan dalam penulisan selanjutnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa sinopsis yaitu ringkasan cerita, yang menggambarkan secara umum cerita yang sebenarnya

2.1.2.2  Tema
Setiap karya sastra baik dalam bentuk puisi, drama, novel dan jenis karya sastra lainnya memiliki satu hal terpenting yaitu tema. Suharianto (1982 : 28) menyatakan bahwa : ”tema adalah ide pokok atau ide utama yang merupakan dasar cerita, persoalan atau permasalahan yang mendominasi suatu karya sastra sekaligus merupakan permasalahan yang dirumuskan dan dirangkai pengarang di dalam karya sastranya”. Pendapat senada dikemukakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001 : 104) dikemukakan bahwa : yang dimaksud dengan tema adalah : ”pokok pikiran ; dasar cerita(yang dipercakapkan dipakai sebagai dasar mengarang, mengubah sajak, dsb.)”. Setiap karya sastra baik dalam bentuk puisi, drama, novel dan jenis karya sastra lainnya memiliki satu hal terpenting yaitu tema.. Kemudian Harison (dalam Esten, 1984 : 22) menyatakan bahwa : ”tema yang baik adalah sebuah tema yang merupakan suatu persoalan manusia yang luas, mendalam dan betul-betul bisa dirasakan dan diterima sebagai persoalan kemanusiaan”.
Jadi dapat dijelaskan bahwa tema adalah ide pokok atau ide utama yang merupakan dasar cerita, pandangan hidup pengarang, persoalan atau permasalahan yang mendominasi suatu karya sastra sekaligus merupakan rangkaian nilai-nilai yang membangun dasar atau ide utama suatu karya sastra yang dirumuskan dan dirangkai pengarang di dalam karya sastranya.

2.1.2.3  Bahasa
Bahasa adalah identitas suatu bangsa, Negara dan kepulauan. Bahasa adalah sarana manusia untuk menyampaikan maksud dan tujuannya baik dalam bentuk ucapan, tulisan,  bahasa tubuh atau isyarat. Adapun jenis bahasa adalah khususnya di Indonesia yaitu bahasa nasional dan bahasa daerah. Hardaniwati (2003 : 39) menyatakan bahwa : ”bahasa adalah alat berhubungan manusia yang dihasilkan alat ucap manusia dan setiap karya sastra yang isi ceritanya merupakan maksud yang disampaikan pengarang melalui cerita dengan bahasa tulisan”. Menurut Idrus (tt : 60) bahasa adalah “system lambang bunyi yang arbiter, yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi dan mengidentifikasikan diri, percakapan (perkataan) yang baik, tingkah laku yang baik, dan sopan santun”
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas dapat dijelaskan bahasa adalah suatu lambang yang sangat penting digunakan, baik untuk berkomunikasi, juga sebagai alat menghubungkan pembaca dengan instuisi penyair dalam karya sastra. Demikian pula bahasa yang digunakan dalam Gaguritan Runtuhnya  Sri Dalem Dukut merniliki peranan yang cukup penting seorang pengarang akan memanfaatkan bahasa untuk menciptakan nada dan suasana yang tepat guna, sesuai maksud dan tujuannya dengan bahasa tulisan.
1.            Ragam Bahasa
Ragam bahasa merupakan penggunaan bahasa dalam teks. Dalam sastra Bali terdapat banyak ragam bahasa. Menurut Antara (1994:5) menyatakan Bahasa Bali berasal dan kosakata Bali Aga, Bahasa Bali Tengahan, Bahasa Bali Baru, Bahasa Jawa Kuno, Bahasa Sansekerta. Lebih lanjut diuraikan bahwa sastra Bali yang menggunakan Bahasa Bali dibagi menjadi enam yaitu:
a)      Sastra Bali yang menggunakan Basa Bali Aga.
b)      Sastra Bali yang menggunakan Basa Bali Kuna. Sastra Bali yang menggunakan Basa Bali Tengahan.
c)      Sastra Bali yang menggunakan Basa Bali Anyar.
d)     Sastra Bali yang menggunakan Basa Jawa Kuna.
e)      Sastra Bali yang menggimakan Basa Sansekerta.
Antara (1994:9) dalam buku bahan ajar berjudul Sari Tata Basa Bali menguraikan bahwa Bahasa Bali memiliki dua dialek yakni dialek Bali Aga dan dialek Bali Kepara.
Bahasa Bali memiliki stratifikasi bahasa yang dikenal dengan istilah Sor Singgih Basa atau Anggah Ungguhing Basa. Tingkatan Bahasa Bali mi menurut Budha Gautama dan I Nengah Tinggen (dalam Antara 1994 :16), dibagi menjadi tiga yaitu:
a)      Basa Alus terdiri dan Basa Alus Singgih, Basa Alus Mider, Basa Alus Sor.
b)      Basa Madia,
c)      Basa Kasar.
Sedangkan menurut Suwija (2006:1 1-15) menyatakan bahwa berdasarkan rasa bahasanya, Bahasa Bali dibagi menjadi empat yaitu, (1) Basa Kasar, (2) Basa Andap, (3) Basa Madia, (4) Basa Alas. Basa Kasar dibagi lagi menjadi Basa Kasar Pisan dan Kasar Jabag. Basa Alus pembagiannya sama seperti yang diuraikan oleh Antara. Suwija lebih lanjut menguraikan yang dimaksud dengan jenis Bahasa di atas adalah sebagai berikut:
1)      Basa Kasar Pisan adalah Bahasa Bali yang rasa bahasanya benar-benar tidak enak di dengar dan sering dipakai saat bertengkar atau mengumpat.
2)      Basa Kasar Jabag adalah Bahasa Bali yang dibangun oleh kata-kata Basa Andap dan ditambah kata-kata dan Alas Madia, tetapi dipakai berbicara dengan orang yang pantas dihormati.
3)      Basa Andap adalah Bahasa Bali yang rasa bahasanya bisaa, tidak kasarjuga tidak halus.
4)      Basa Madia adalah Bahasa Bali yang kedengarannya halus, namun rasa bahasanya Madia, sebab banyak dibangun oleh kata-kata yang masuk Basa Alus Madia.
5)      Basa Alas Singgih adalah Bahasa Bali yang rasa bahasanya dipakai untuk orang yang patut dihormati.
6)      Basa Alas Sor adalah Bahasa Bali yang rasa bahasanya halus, dipakai untuk merendahkan din atau yang pantas diposisikan dalam bahasa yang lebih rendah.
7)      Basa Alus Mider adalah Bahasa Bali yang rasa bahasanya halus, sering dipakai berbicara dalam rapat, berbicara dengan orang banyak.
Menurut Tinggen (1982:12) menyatakan bahwa dalarn hubunganriya dengan karya sastra geguritan, pada umumnya memakai Bahasa Bali Kepara,  namun masih ada yang mengunakan Bahasa Bali Kuno, Bahasa Jawa Kuno (Kawi), Bahasa Tengahan, Bahasa Sansekerta.
Jadi ragam bahasa yang digunakan dalam karya sastra geguritan memakai Basa Bali Kepara, Basa Bali Kuna. Basa Bali Tengahan, Basa Jawa Kuna, dan Basa Sansekerta.
2.            Gaya Bahasa
Gaya bahasa menurut Agni, B (2008:11) adalah sesuatu yang dipakai dalam karangan baik secara lisan maupun tulisan yang mewakili pikiran dan perasaan pengarang. Agni (2008:106-118) menyatakan ada empat jenis Majas dalam Bahasa Indonesia yaitu, (1) Majas Perbandingan, (2) Majas Sindiran,(3) Majas Penegasan, (4) Majas Pertentangan. Majas Perbandingan seperti, Alegori, Alusio, Simile, Metafora, Antropomorfisme, Sinestesia, Antonomasia, Aptronim, Metonimia, Hipokorisme, Litotes, Hiperbola, Personfikasi, Deperson/Ikasi, Pars Pro Toto, Totem Pro Parte, Eufemisme, Disfemisme, Fable, Parable, Perfrase, Eponim, Simbolik. Majas Sindiran, seperti Ironi, Sarkasme, Sinisme, Satire, Innuendo. Majas Penegasan seperti Apofasis, Pleoname, Repetisi Pararima, Aliterasi, Paralelisme, Tautologi, Sigmatisme, Antanakiasis, Klimaks, Anti Klimaks, Inverse, Retoris, Elipsis, Koreksio, Polisindenton, Asindenton, Interupsi, Eksklamasio, Enumerasio, Preterito, Alonim, Kolokasi, Silepsis, Zeugma. Majas Pertentangan seperti Paradok, Oksimoron, Antithesis, Konfradiksi Interminus, Anakronisme
Menurut Esten (1984:28) menyatakan bahwa: “Gaya bahasa adalah cara pengarang dalam mengungkapkan suatu pengertian dalam kata (frase), kelompok kata, dan kalimat”.
Pengertian gaya bahasa menurut Sudjito (dalam Lingga Siwi, 2010:120) menyatakan bahwa: gaya bahasa atau majas merupakan bahasa figuratif dalam bentuk bahasa kias yang menghidupkan atau meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu.
Jadi gaya bahasa adalah cara pengarang dalam mengungkapkan suatu pengertian dalam kata (frase), kelompok kata, dan kalimat dalam bentuk bahasa kias yang menghidupkan atau meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu. Gaya bahasa dalam Bahasa Bali dikenal dengan istilah Paribasa. Menurut Simpen (2001:01) menyatakan bahwa Paribasa artinya bicara atau kata-kata, ajaran, teguran, celaan, hardikan, cambukan dan hukuman. Lebih lanjut diuraikan yang termasuk kedalam Paribasa adalah Sesonggan (Pepatah), Sesenggakan ( Ibarat), Wewangsalan (Tamsil), Sloka (Bidal), Bebladbadan (Methapora), Peparikan (Pantun), Sesawangan (Perumpamaan), Cecimpedan (Teka-teki), Cecangkriman (Syair teka-teki), Cecangkitan (Olok-olokan), Raos Ngempelin (Lawak), Sesimbing (Sindiran), Sesemon (Sindiran halus), Sipta (Alamat), Sesapaan (Doa). Menurut Tinggen (1995:1-3) menyatakan bahwa jika ditinjau dan sudut bahasanya, struktur paribasa mengacu pada lapisan masyarakat penutumya, dimana penggunaan bahasanya mengacu pada Sor Singgih Basa Bali. Jika dilihat dan bentuknya, paribasa mempunyai bentuk bebas dan bentuk terikat. Lebih lanjut diuraikannya yang tergolong bentuk bebas Sesonggan, Sesenggakan, dan Sesawangan, ditandai dengan adanya kalimat panjang dan kalimat pendek. Sedangkan yang termasuk bentuk terikat adalah Sloka, Bladbadan, dan Wewangsalan yang diwarnai oleh unsur persamaan bunyi dan sampiran. Tinggen memperjelas bahwa semua bentuk itu merupakan Metafora yang memairikan peranan penting dalam bahasa kias.
Dan beberapa deskripsi tentang gaya bahasa di atas dapat dijelaskan bahwa gaya bahasa adalah cara pengarang dalam mengungkapkan pikiran dan perasaannya melalui bahasa yang khas baik dalam bentuk kata maupun kalimat, dengan tujuan untuk memperindah bahasa atau membuat bahasa yang menarik, serta mampu menuansakan makna yang menyentuh daya intelektual dan emosi dan pembacanya.

2.1.2.4  Penokohan
Menurut Sudjiman (1986 : 16) menyatakan bahwa : ”tokoh adalah individu-individu rekaan yang mengalami peristiwa atau perlakuan dalam cerita sedangkan watak digunakan dalam arti tabiat, sifat dan kepribadian”. Dengan demikian, perwatakan bisa dikatakan merupakan jiwa yang menghidupi tokoh. Idrus (tt : 643), Tim Prima Pena (tt : 652) mengatakan bahwa tokoh adalah wujud atau keberadaan, bentuk dan potongan, orang yang terkemuka dan kenamaan, pemegang peran utama dalam cerita.
Jadi dapat dijelaskan bahwa tokoh adalah individu-individu rekaan yang mengalami peristiwa atau perlakuan serta memegang peranan dalam cerita yang memiliki watak tertentu. Bisaanya dalam cerita, penokohan terdiri dari peran utama, peran sampingan atau peran pembantu.
Esten (dalam Sukada, 1987 : 27) menyatakan bahwa : ”bisaanya dalam sebuah cerita rekaan terdapat pelaku utama (central figure) dan tokoh-tokoh lain yang ditonjolkan dalam hubungannya dengan  pelaku utama ini bisaanya disebut pelaku tambahan”. Lebih lanjut Sudjiman (1986 : 19) menyatakan tokoh dalam sebuah cerita dibagi menjadi dua yaitu tokoh sentral atau tokoh utama dan tokoh pembantu. Penentuan tokoh bukan didasarkan atas frekwensi kemunculannya melainkan intensitas keterlibatan dalam peristiwa yang membangun sebuah cerita.
Jadi dapat dijelaskan bahwa tokoh dalam sebuah karya sastra terdiri dari dua kelompok yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan atau tokoh pembantu.

2.1.2.5  Alur / Plot
Menurut Semi (1988 : 43) menyatakan bahwa :
alur merupakan unsur penting dalam karya sastra, alur atau plot juga merupakan struktur rangkaian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interfrensi fungsional sekaligus  sebagai urutan dalam bagian-bagian cerita serta merupakan perpaduan unsur-unsur yang membangun cerita atau sebagai kerangka utama cerita.

Selanjutnya Brooks (dalam Tarigan, 1985 : 126) menyatakan alur merupakan : ”struktur gerak yang terdapat dalam fiksi atau drama yang diawali dengan permulaan (beginning), inti (tengah) dan akhir (ending) dalam dunia sastra”. Sedangkan Retnoningsih (1985 : 12) mengatakan bahwa alur adalah ”suatu rentetan kejadian antara satu dengan yang lainnya, sehingga menimbulkan terjadinya sebab dan akibat”.
Berdasarkan pengertian alur tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa alur merupakan struktur rangkaian atau rentetan kejadian dalam karya sastra yang disusun sebagai sebagai urutan dalam bagian-bagian cerita yang menunjukkan hubungan sebab akibat serta merupakan perpaduan unsur-unsur yang membangun cerita atau sebagai kerangka utama cerita.

2.1.2.6  Latar
Dalam Kamus-kamus Bahasa Indonesia karya Idrus (tt : 404) disebutkan bahwa latar adalah keterangan mengenai ruang dan waktu suasananya saat berlangsungnya peristiwa (dalam karya sastra). Nurgiantoro (2000 : 227) mengemukakan bahwa : ”unsur latar dapat dibedakan ke dalam unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan social”. Selanjutnya Suharianto (1982) menyatakan bahwa : ”latar adalah bagian-bagian yang membicarakan tempat dan waktu terjadinya peristiwa.
Maka dapat dijelaskan bahwa latar adalah keterangan mengenai ruang, tempat dan waktu terjadinya peristiwa dalam sebuah karya sastra.

2.1.2.7  Amanat
            Tema adalah pokok persoalan yang berisi gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra. Di dalamnya terbayang pandangan hidup atau cita-cita pengarang. Dari persoalan inilah pengarang menjadikannya sebuah karya sastra yang kadang-kadang atau sering juga disertai pemecahannya sekaligus. Pemecahan inilah yang diistilahkan amanat (Sudjiman, 1986 :50).
Dalam Kamus-kamus Bahasa Indonesia karya Idrus (tt : 3) disebutkan bahwa amanat adalah pesan yang disampaikan. Dalam hal ini, pesan yang dimaksud adalah pesan yang disampaikan oleh penulis kepada pembaca.
Dapat dijelaskan bahwa amanat adalah pesan yang disampaikan penulis kepada pembaca melalui pemecahan suatu persoalan dalam sebuah karya sastra.

No comments:

Post a Comment